Sri Ayu Sipah

Alumni IPB dan Kepala MTs Darul Hikmah Subah di Kankemenag Kabupaten Batang. Belajar dan terus belajar dalam universitas kehidupan untuk berika...

Selengkapnya
Navigasi Web
Aku Produk Poligami dan Aku Bahagia!

Aku Produk Poligami dan Aku Bahagia!

Bismillah. Berat rasanya menorehkan judul pada gambar, seberat rasa memahami maknanya. Tak ingin juga tabuh genderang perang dengan barisan emak-emak anti poligami, yang siaga berdiri bentengi kesetiaan suami.

Ini hanya catatan pengantar tidur bagi mereka yang sudah terlanjur. Namun, tak menyarankan bagi mereka yang belum melakukan, apalagi imbauan untuk ajang uji coba kesetiaan

Tak ada niatan promosi poligami, apalagi menjadi brand ambasador-nya. Hanya ingin berbagi apa yang kurasa. Jadi, kubermohon pada emak-emak barisan anti poligami tuk sarungkan kembali belati kebencian, yang sempat terhunus kala judul membuat hati pupus.

Banyak orang menulis tentang teori poligami dan menjadi booming karena menyangkut rasa hati, tetapi jarang dari mereka yang mengalami sendiri. Tak sama ungkap pengalaman dengan teori. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Selama ini sudut pandang diambil dari sosok istri dan kucoba sampaikan dari sudut buah hati.

Kecilku tak mengerti arti poligami. Tak juga paham sunnah Nabi terkait ini. Namun kutahu pasti, aku memiliki dua ibu yang saling menyayangi. Ayah pun bukan sosok sempurna, melainkan lelaki adil yang penuh cinta. Ia berikan jumlah anak sama rata pada kedua istrinya. Empat belas bersaudara terlahirkan dari dua rahim yang berbeda.

Mak Tuwa dan Mak Enom menjadi menjadi sepasang sayap yang saling melengkapi. Tak jarang bergantian mengasuh kami, bahkan bersama petan di teras gubuk mencari kutu bukanlah pemandangan tabu.

Tak pernah terdengar kemarahan menyapa, tak juga kutemui wajah berduka. Selalu ada senyum dan canda setiap kami tiba. Kakak-kakak tertua bergantian momong si kecil saat dua ibunda berbalur peluh mencari nafkah.

Tak pula kutangkap rasa cemburu. Mungkin saat itu aku tak tahu, tetapi sampai di ujung waktu ayah berpulang, dua ibundaku tetap menyatu dalam sayang.

Kami tinggal tak berjauhan. Satu desa beda pedukuhan, tetapi sering menghabiskan waktu bersama. Membayang jelas saat pagi tiba, di pawon ramai suara gelak canda dua ibunda memasak untuk kami sekeluarga. Ayah tak pernah sampaikan banyak kata, diamnya sudah tunjukkan semua. Ia ajarkan arti menghormati dan menyayangi meski harus berbagi hati.

Tak ada cap saudara tiri. Kami tumbuh bersama tiada berbeda. Tak ada pula perebutan harta benda, karena ayah memang tak punya. Dua ibunda sigap dan siap membantu mencari nafkah tuk isi perut ke-empat belas buah hatinya.

Dewasa baru kusadari, mereka bertahan karena cinta. Ada banyak ribuan lelaki di luar sana, tetapi dua bidadari memutuskan berlabuh pada satu jiwa. Ada banyak harta pria yang bisa nyamankan hidupnya. Namun, sekali lagi dua ibunda memilih memeras keringat bersama lelaki papa.

Itulah yang membedakan poligami di zaman kini. Bidadari antri menjadi yang kedua karena si pria bermandi harta. Acap pula si pria beralih hati karena bidadari kedua jauh lebih bangkitkan nafsu birahi.

Qadarullah terjadi, suamiku pun produk poligami. Sama-sama ber-ibu ganda. Ia pun rasakan hal tak beda. Tak ada cerita duka maupun kebencian pada saudaranya. Hanya sayang dan saling menghormati untuk kenang orang tua yang telah tiada. Kami bahagia!

Tebersit kekhawatiran dalam hati, peribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Namun kucoba hibur diri, takkan kubiarkan buahnya terjatuh, kan kupetik sebelum luruh. Aku produk poligami, tapi anti dipoligami!

Anda tertarik poligami?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah indahnya poligami tetapi ternyata Ibu Ayu tidak juga merekomendasikannya. Andaikan istri saya meminta sekalipun saya tidak berniat mengabulkannya bu Ayu. Tulisan yang sungguh luar biasa. Pengalaman nyata. Sehat, bahagia, dan sukses selalu Barakallah

26 Jan
Balas

Poligami, no! Bahagia, Yes! Benar sekali, Pak Mulya. Saya tidak merekomendasikan. Cukuplah orang tua kami. Beda generasi, berganti pula alur kehidupan. Tak selamanya yang dijalani orang tua, akan sanggup dijalani anak-anaknya. Kami bahagia, tapi kami ingin setia pada belahan jiwa seorang. Sukses, Pak Mulya!

26 Jan

indah diksinya.. cara bercerita membuat nyaman.. salam.literasi

27 Jan
Balas

Terimakasih, Pak Qumaidy. Mohon bimbingannya.

27 Jan

Terimakasih, Pak Qumaidy. Mohon bimbingannya.

27 Jan

Masya Allah... bagus sekali bunda, pengalaman yang jarang terjadi dituturkan dengan bahasa yang indah dan menyentuh dan juga mengundang keingintahuan. Kepenasaran apakah bunda termasuk stuju poligami atau tidak. Barokallohu bunda...

26 Jan
Balas

Terimakasih, Bunda Ratih. Sebatas berbagi atas apa yang dirasa, agar bijak ke depan memyikapi perbedaan pandangan. Kami bahagia terlahirkan dari keluarga poligami, tapi tak sanggup jika harus jalani. Cukuplah orang tua kami saja. Sukses selalu, Bunda Ratih.

26 Jan

Pengalaman poligami dari sudut pandang anak ternyata begitu luar biasa. Untuk pertanyaan terakhir akan saya jawab dengan lantang "saya tidak tertarik". Begitu Ibu Ayu..barakallah

26 Jan
Balas

Saya pun tidak! Itu cerita poligami masa lalu. Tak seriuh sekarang meski pemahaman tentang agama mungkin masih sangat kurang. Saya produk poligami tapi anti dipoligami!

26 Jan

Aku selalu terpesona dengan kata yang dirangkai begitu indah, tentang poligami di masa lalu. Begitulah dulu...sehat selalu Bunda Ayu' barakallah

26 Jan
Balas

Terimakasih, Bunda Lupi. Iya begitulah adanya. Poligami zaman kini.

26 Jan

Hanya poligami yang "lillah" dapat capai bahagia. Bukan poligami yang mengikuti syahwat belaka. Lillah akan luaskan rongga dada. Pupuskan kebencian bergantikan cinta semata. Salam sehat dan sukses selalu, Bu Guru. Barakallah.

26 Jan
Balas

Jazakillah, Ibu. Ayu pun tak paham saat itu. Kami hanya tahu ada satu ayah dan dua ibu. Kami bahagia lalui hari bersama. Kakak-kakak yang baik hati dan saling menyayangi. Selamat ber-MWC, Ibu. Hati-hati melangkah agar kaki tak lagi bengkak. Salam hormat kami sekeluarga.

26 Jan

Duh ibu...rangkaian kata2x menyentuh kalbu...sukses ya buu

26 Jan
Balas

Terimakasih, Bunda Yulia. Masih belajar. Masih jauh panggang dari api. Sukses selalu untuk Bunda Yulia.

26 Jan

Fakta memang manyatakan ada poligami terjadi di masyarakat dan ada poligami yang sesuai syariat, tentu ini dilakukan tidak sembarang orang, hanya orang-orang pilihan yang bisa jalankan ini. Alhamdulillah, tulisan berdasarkan pengalaman lebih mengena di hati. Aku yakin, tulisan ini mampu memberikan nuansa berbeda tentang poligami yang selama ini terkesan dikecam. Sukses selalu dan barakallah

26 Jan
Balas

Kami memang produk poligami orang tua kami, tetapi kami anti poligami. Tak ada satu pun dari keluarga yang menjadi menjalani. Artikel ini tak ditujukan untuk dukung poligami, sebatas ungkapan atas yang kami rasa. Agar pembahasan poligami tak hanya berkutat pada tataran teori, lebih pada berbagi pengalaman yang menjalani. Ada yang bahagia, tak kurang luka hati bersimbah airmata duka mendera sehingga akan bijak saat memberikan masukan bagi yang pro maupun anti. Kami dari keluarga bahagia poligami pun tak sanggup jika harus jalani. Barakallah, Bunda Ropi.

26 Jan

Maaf bu ayu salam kenal, saya Yuni membaca tulisan ibu tentang poligami sangat terharu sekali, apa saya bisa ngobrol dengan bu ayu ya, lewat wa atau fb atau yang lain, maksud saya yang lebih privasi?

30 Nov

Ada sebuah key word yang menyentuh...."Takkan kubiarkan buahnya terjatuh, kan kupetik sebelum luruh"..Keyword itu seolah mengatakan "sesuatu" kesimpulan...Mantaps Bu Ayu...Kisah yang akan menjadi cerita anak cucu tentang kebersamaan yang indah bukan tentang kebencian karena berbagi cinta... Semoga selalu sehat dan menginspirasi...Barakallah Bu Ayu...

26 Jan
Balas

Artinya tak mesti menurun, ya Bu Rini. Poligami zaman dulu nyaris tanpa masalah. Tanpa tendensius harta dan nafsu birahi. Tak seperti kebanyakan poligami zaman kini.

26 Jan

Bidadari yang mulia,penuh ketulusan...

26 Jan
Balas

Terimakasih, Bu Fila.

26 Jan

Poligami era kekinian lebih mengedepankan nafsu daripada Ridho Ilahi itu bikin miris hati..... Apalagi banyak kaum putri yang hobi merayu dengan segala strategi hancurkan hati para istri yang setia menanti suami di rumah surgawi

26 Jan
Balas

Benar sekali, Bunda Ratih. Tak nampak ketulusannya. Hanya berebut harta.

26 Jan

Waduh waduh... Suda penuh sesak dengan emak emak. Aku sekedar mampir sebelum akhirnya minggir.

26 Jan
Balas

Hehehe... terlambat rawuh, Pak Gufi. Barisan emak-emak anti poligami sudah siap berdiri siapkan amunisi. Jazakallah, Pak Guru.

26 Jan

Luar biasa bunda... semua kembali pada kesetiaan pelaku poligami pada Tuhannya. Andai mereka berpijak pada Ridho Illahi untuk saling berbagi, aku yakin poligami itu begitu indah... Sukses selalu bunda...dan barakallah

26 Jan
Balas

Saya anti poligami lho! Iya, kembali pada pribadi masing-masing. Meski bahagia menjadi bagian dari keluarga poligami, tapi saya tak sanggup dipoligami.

26 Jan

Memang butuh keikhlasan yang luar biasa...hidup hanya karena Allah Bun...aku juga gak sanggup....hehheehe

26 Jan

Kita termasuk barisan emak-emak anti poligami. Hehehe...

26 Jan

kisah yang menarik Kiranya orang-orang mau berefleksi ibu Sri... Salam literasi

26 Jan
Balas

Terimakasih, Pak Roni. Benar sekali, Bapak. Untuk refleksi diri, agar bijak ke depannya.

26 Jan

Jadi ingat lirik lagu Madu Tiga yang dinyanyikan Ahmad Dani. "Aiii....senangnya dalam hati, kalau beristri dua. Oh seperti dunia, ana yang punya" .... Saya produk monogami tak anti-poligami, tetapi bukan praktisi poligami. Poligami ajaran Islam, suka tak suka. Ia bisa hadir sebagai solusi, tapi bencana bg mereka yg sekadar mengejar birahi. Poligami itu berat. Aku pasti tak kuat. Sudahlah, biar yang lain saja. Sukses selalu Bu Ayu. Barakallah.

27 Jan
Balas

Jazakillah, Pak Khalid. Iya, poligami itu berat. Biar yang lain saja. Wah, kayaknya dulu belum ada lagu itu. Almarhum ayah tak pernah nyanyikan. Hehehe ...

27 Jan

Menarik dan simpatik

28 Jan
Balas

Terimakasih atas apresiasinya.

28 Jan

MasyaAllah... sebuah sajian yg begitu lezat dan renyah bunda ..aku mencoba menikmati butir demi butir dari rangkaian kata kata yg tersaji... begitu terasa lain.. sesuatu yg dalam penilaian banyak orang sebagai hal yang mengerikan tapi ini tersaji penuh kebahagiaan ... menurut aku bunda.. yang paling hebat adalah ayahanda. Begitu arifnya hingga dua istri dan 14 anak bisa berdampingan rukun dan bahagia tanpa ada saling curiga

02 Feb
Balas

Njih. Leres, Bunda Noor. Ayahanda begitu bersahaja dan luar biasa. Tak miliki banyak harta benda, tetapi hatinya kaya cinta. Sampai sekarang, kami sangat dekat. Tak ada pula yang menuruni ayahanda berpoligami. Tetapi kami sampaikan kenyataan sebenarnya, kami bahagia!

02 Feb

Masya Alloh tabarokalloh.. kisah indah penuh ibrah. Dari judul tulisan pun sudah tersirat betapa Ibu Sri sekeluarga menyikapi poligami dengan bening hati. Kebeningan itu makin terbukti setelah membaca seluruh rangkaian kalimat yang diungkap dengan bahasa yang cantik dan apik. Salut untuk dua ibunda yang memilih memeras keringat bersama lelaki papa. Benar, pilihan itu jatuh atas dasar cinta luar biasa, jauh dari ketergiuran pada harta. Semoga berbalas surga. Saya suka tulisan Ibu, teramat menyentuh qolbu. Karenanya izinkan saya berguru. Salam literasi, sukses selalu ya Bu..

26 Jan
Balas

Terimakasih, Bunda Sofyanti. Mencoba membagi apa yang dirasakan. Semakin maju zaman, niat poligami yang suci menjadi terabaikan. Tergeser nafsu kebendaan dan birahi sesaat. Pilihan tak lagi hati, tetapi kadar setia bertakar materi. Kami dari keluarga poligami bahagia, tetapi tak sanggup juga jalani seperti orang tua kami terdahulu. Minimal kami sampaikan bahwa kami bangga dengan mereka. Menyatu dalam cinta tanpa pamrih apa pun, bahkan dalam kondisi kekurangan sigap menyangga satu sama lain. Ayu masih belajar menulis, Bunda Sofyanti. Masihlah jauh panggang dari api. Mari bersama; tak lelah kubelajar berjalan, tak letih kuberlatih berlari, mencari segenggam ilmu dari mereka yang lebih mengerti. Ijinkan pula Ayu belajar pada Bunda Sofyanti.

26 Jan



search

New Post